Allah menjadikan
kehidupan dan kematian, sebagai liku ujian demi ujian. Ujian-ujian itu, tak
selalu berarti sesuatu yang bagi kita negatif. Bahkan sesuatu yang
menggembirakan dan membahagiakan kita, adalah juga ujian.
Perjalanan hidup
yang terbaik itu bukan yang mulus dan lurus tanpa hambatan. Namun hidup yang
berliku, kadang naik juga turun, menikung, berkelok, landai. Sebagaimana kisah
Nabi Yusuf, yang disebut dalam pembukaan surat tersebut dengan "ahsanal
qashash".
Maka bukankah
seharusnya kita curiga, saat Allah menguji kita dengan ujian yang berlipat,
boleh jadi Allah sedang menyiapkan dan mentarbiyah diri kita untuk menjadi
pribadi yang besar, ketika berhasil lulus dari ujian-ujian tersebut.
Ujian demi ujian
kadang membuat dada kita sesak, nafas kita berat, mata kita terpejam. Ketika
ujian dalam bentuk yang bermacam-macam itu hadir dalam liku kehidupan kita,
saat dada kita sesak, nafas kita berat, mata kita terpejam merasakan beratnya
ujian itu, diantara yang perlu kita lakukan adalah mengambil jarak. Sesaat
saja. Kemudian menumpahkan seluruh beratnya ujian tersebut hanya kepada Allah.
Dalam doa-doa panjang, dalam malam-malam yang sunyi, dalam bulir-bulir air
mata.
Seperti Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam di thaif. Setelah penolakan masyarakat terhadap
dakwahnya, ia bermunajat kepada Allah :
"Ya Allah,
sesungguhnya kepadaMu lah aku mengadukan kelemahan diriku, sedikitnya daya
upayaku serta hina dinanya diriku dihadapan manusia…"
Seperti yang
diucpakan oleh Nabi Ya'qub 'alaihissalam yang merindukan anaknya setelah lama
tak bertemu :
"hanya kepada
Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.."
Seperti Nabi Musa
yang berlari dari mesir menuju madyan, dalam kondisi perbekalan habis dan ia
bermunajat kepada Allah :
"Rabbi, sungguh
aku, terhadap apa yang Kauturunkan diantara kebaikan, amat memerlukan"
Seperti
Nabi Yunus, dalam 3 lapis kegelapan yang memunajatkan do'a
"Tiada
Illah selain Engkau ya Allah, Maha Suci Engkau, sungguh aku termasuk
orang-orang yang dzhalim"
Seperti Nabi Zakariya, yang Allah uji berupa keturunan, ia bermunajat :
"Ya Allah,
sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku
belum pernah kecewa dalam berdoa kepada engkau, Ya Allah"
Seperti Nabi Ayyub
ketika diuji berupa beragam sakit, ia bermunajat :
"Ya Allah, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah
Tuhan yang Maha Penyayang diantara semua yang penyayang"
Seperti Nabi
ibrahim, ketika harus meninggalkan istri dan anaknya di tempat yang tak
berpenghuni, ia bermunajat :
"Rabbana,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak
mempunyai tanam-tanamaan di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihromati.
Rabbana yang demikian itu, agar mereka menegakkan shalat, maka jadikanlah hati
sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah rezeki kepada mereka
berupa buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur".
****
Ketika ujian-ujian
kehidupan itu hadir, melipirlah. Mengambil jarak sesaat. Lalu kemudian
bermunajat kepada Allah penggenggam setiap solusi bagi ujian-ujian
kita.
Mari mengazzamkan dalam diri untuk mengadukan kesulitan dan kesusahan hanya
kepada Allah. Lalu kita mengatakan "sungguh aku belum pernah kecewa dalam
berdoa kepadaMu Ya Allah".
Menepi lah, mengambil jarak.
Kamis, 12 Syawwal
1438 H/6 juli 2017
Comments